Pengarang : Umar Kayam
Tahun Terbit : Cetakan pertama, tahun 1972
Tebal Halaman : 64 halaman
Penerbit : Pustaka Jaya
Berikut ini
adalah sinopsis dari masing-masing cerita pendek :
*Seribu Kunang-Kunang di Manhattan*
Diceritakan ada sebuah sepasang orang yang bernama Jane dan Marno. Mereka sedang duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini.
Mereka sama-sama sedang memandang di luar jendela. Mereka berdebat
tentang warna bulan. Jane menganggap bulan itu berwarna ungu. Namun,
tidak dengan Marno. Tidak putus asa,
Jane tetap bersikeras untuk meyakinkan Marno. Marno berdiri, ke dapur
untuk mengambil air serta es ke dalam gelasnya. Setelah itu, ia kembali
ke sofa di samping Jane. Kepalanya terasa tidak enak. Jane ingat dengan Tommy, bekas suaminya
dahulu. Ia bertanya kepada Marno bagaimana Alaska. Kondisi dan hawa di
Alaska. Jane juga berkata bahwa Tommy sekarang ada di Alaska. Marno berdiri, berjalan menuju radio dan
memutar knopnya. Diputar-putarnya knop itu beberapa kali hingga
menghasilkan suara yang aneh. Potongan-potongan suara itu tak tentu
hingga seperti suara orang yang sedang tercekik-cekik. Kemudian
dimatikannya radio itu dan ia kembali ke sofa. Mereka kembali
membicarakan Tommy. Jane menganggap bahwa Tommy sedang ada di Alaska.
Jane tidak ingin Tommy kedinginan karena Alaska sangat dingin. Namun,
Marno memberitahu Jane bahwa belum tentu Tommy berada di Alaska
sekarang. Marno kembali memasang rokok lalu pergi
berdiri di dekat jendela. Langit bersih waktu itu, kecuali di sekitar
bulan. Beberapa awan menggerombol di sekitar bulan hingga cahaya bulan
jadi muram karenanya. Ditengokkannya kepalanya ke bawah dan satu
belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut
itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur di bawahnya.
Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu
tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba merangkak ke
dalam tubuhnya. Jane ingat beberapa tahun yang lalu ia pernah dikirimi oleh Tommy boneka Indian dari Oklahoma City yang ternyata ketika Jane bercerita kepada Marno, Marno sudah pernah mendengar cerita Jane.
Lampu-lampu berkelipan di belantara
pencakar langit yang kelihatan di jendela. Mengingatkan Marno pada
ratusan kunang-kunang yang biasanya suka bertabur di malam hari di sawah
embahnya, di desa.
Jane berkata kepada Marno bahwa ia dan Marno belum sempat berjalan-jalan ke Central Park Zoo.
Kemudian Jane ingat bahwa ia pernah berjalan-jalan ke sana dengan
Tommy. Ternyata cerita ini sudah pernah didengar Marno sebelumnya. Jane
merasa bahwa ia sangat membosankan. Lantaran, semua cerita yang
diceritakannya kepada Marno sudah pernah Marno dengar.
Jane mengajak Marno duduk di sofa di
dekatnya. Namun, nampaknya Marno tak mau. Ia sedang asik melihat ribuan
kunang-kunang. Jane penasaran dengan kunang-kunang, Marnopun menjelaskan
kepada Jane apa kunang-kunang itu. Marno tetap menghadap ke luar jendela.
Menatap ke satu arah. Tiba-tiba Jane bertanya kepada Marno, punyakah ia
dengan mainan kekasih. Jane berkata bahwa ia punya mainan kekasih. Ia
menamainnya Uncle Tom. Jane menggambarkan bahwa Uncle
Tom adalah boneka hitam yang sangat jelek rupanya. Namun, Jane tak akan
pernah bisa tidur bila ia tidak bersamanya. Jane berpisah dengan Uncle Tom pada saat di high school pada waktu bertemu dengan Tommy. Jane sangat ingin Uncle Tom berada di sampingnya lagi. Ternyata cerita tentang Uncle Tom sebelumnya belum pernah ia ceritakan kepada Marno. Jane merasa sangat senang sekali. Jane memberikan Marno sebuah piyama dengan ukuran medium – large. Setelah
diberikannya piyama itu, Marno berpamitan pulang kepada Jane dan
mencium dahi Jane. Menghilanglah Marno dari balik pintu.
*Istriku, Madame Schlitz dan Sang Raksasa*
Hingga saat aku menulis cerita ini,
istriku masih belum juga senang tinggal di New York. Dia selalu merasa
menjadi kekejaman New York. Menurut fantasinya, New York adalah salah
satu pemakan manusia. Raksasa ini entah karena kena penyakit apa, tidak
pernah merasa kenyang biarpun sudah memakan ribuan manusia. Aku tahu. Sebenarnya istriku merasa
sangat kesepian. Dalam tiga bulan pertama kami tinggal di apartemen
kami, dan tidak seorangpun dari tetangga yang kami kenal. Kami tinggal
di tingkat lima. Dia mulai kangen kesenian ngobrol sesama tetangga
seperti yang biasa dia lakukan di rumah kami, di Kebayoran. Suatu waktu,
istriku memintaku mencatatkan semua nama tetangga di tingkat ini. Tanpa
banyak berpikir, aku menurutinya. Kami membaca nama-nama itu satu demi
satu. Harry E Smith, John D. Anderson, L. Ambrose, D. Duffy, Madame
Schlitz. Menurut istriku, nama Madame Schlitz sangat menarik. Aku dan
istriku mencoba menerka-nerka dengan teori kami. Mengapa ada nama madame
di depan dan apakah sesungguhnya arti nama Madame Schlitz itu.
Entahlah.
Suatu sore, pulang dari kuliah, aku
melihat wajah istriku bersinar-sinar. Dia senang. Ternyata istriku
sedang kedatangan tamu. Tak lain adalah Madame Schlitz. Ia datang dengan
seekor anjing cihuahua. Istriku menyuruh Madame Schlitz masuk di ruang
tamu kami. Maklumlah, Madame Schlitz adalah tamu pertama di New York.
Istriku mengobrol banyak dengan Madame Schlitz. Madame Schlitz bercerita
ternyata almarhum suaminya dulu adalah orang Austria. Tapi Madame
Schlitz adalah orang Amerika tulen. Istriku bertanya lagi kepada Madame
Schlitz tentang almarhum suaminya. Istriku menganggap bahwa suami Madame
Schlitz seorang baron karena kata Schlitz sangat aristokratis buat
telinga istriku. Madame Schlitz menjawab suaminya bukanlah seorang baron
seperti yang diduga oleh istriku. Namun, suaminya adalah seorang
aristokratis dalam pengertiannya sendiri. Suami Madame Schlitz adalah
seorang chef restoran. Masakannya adalah masakan aristocrat. Suami
madame sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu. Ternyata kedatangan
Madame Schlitz ke apartemen kami hanyalah untuk memintaku menjadi
pelatih yoga Madame Schlitz. Tentu istriku menjelaskan bahwa aku
bukanlah pelatih yoga seperti yang ia pikirkan. Istriku penasaran dengan Madame Schlitz.
Lalu ia pergi ke apartemen Madame Schlitz. Tentu saja dengan kedok
ingin meminjam gula. Terdengar dari luar Madame Schlitz sedang berbicara
dengan seseorang. Istriku bingung. Dengan siapa sebenarnya Madame
Schlitz berbicara. Siapakah Erich. Bukankah itu nama suaminya. Suara
Erich tidak terdengar. Hanya suara cihuahua yang kedengaran melengking.
Setelah istriku masuk ke dalam apartemen Madame Schlitz, ternyata
istriku tahu siapa Erich itu sekarang. Rupanya, semua yang dicintai oleh
Madame Schlitz bernama Erich. Anjing cihuahua itu diberi nama Erich
oleh madame. Dia juga berkata, bahkan jika Madame punya anak laki-laki,
akan ia beri nama Erich juga. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul
hamper setengah dua belas siang. Itu tandanya anak kami segera bangun
dan minta makan.
Esok harinya, sore-sore pulang dari
kerja istriku muram saja wajahnya. Ternyata ia ketahui bahwa Madame
Schlitz sudah pindah dari apartemennya. Bukan itu yang dipikirkan
istriku, namun cara Madame Schlitz pindah begitu misterius. Tiga hari
yang lalu, Senor Ramirez mendapat telepon dari kantor James Felt &
Co, kantor yang mengurus gedung tempat apartemen kami tinggal. Telpon
itu memberitahu Ramirez bahwa Madame Schlitz tidak akan kembali lagi ke
apartemennya. Ramirez melanjutkan bahwa suami dari Madame Schlitz
memberinya surat bahwa isinya karena hal yang mendesak memaksa Madame
Schlitz harus tiba-tiba pindah dari apartemennya. Tetapi istriku
berteriak, bagaimana mungkin suami Madame Schlitz mengirimkan surat.
padahal Madame Schlitz bercerita bahwa suaminya meninggal sekitar lima
tahun yang lalu. Ramirez melanjutkan Madame Schlitz bisa bercerita apa
saja kepada istriku, dia juga bisa melakukan apa saja serta menulis
namanya dengan Madame Schlitz. Istriku tentu sangat kecewa mendengar
penjelasan dari Ramirez.
Kesimpulannya adalah kami, bahkan
istriku tidak akan bisa tahu pasti dimana Madame Schlitz dan apakah
Erich suaminya sudah meninggal. Tiba-tiba istriku berkata bahwa sang
raksasa telah menelan Madame Schlitz. Dengan serius istriku menatapku.
Aku melihat ke luar jendela. Ribuan pencakar langit kelihatan seperti
gunduk-gunduk bukit yang hitam, kaku, gerang.
*Sybil*
Sybil adalah seorang anak perempuan
berumur lima belas tahun. Ia hanya tinggal di sebuah apartemen bersama
ibunya. Jam menunjukkan pukul setengah Sembilan. Ibu Syibil
berteriak-teriak minta dibikinkan kopi. Ibu Syibil marah-marah kepadanya
lantaran kopi di dapur sudah habis. Beberapa percakapan antara ibu dan
anak ini terjadi. Ibu Syibil menuduhnya telah meminum whisky milik
ibundanya. Syibil hanya mengaku menjilatnya sedikit. Karena geram
melihat tingkah Syibil, ibunya bertanya kenapa ia meminum whisky
ibunya. Ternyata Syibil telah diejek oleh Chip Henderson, temannya.
Syibil dianggap penakut jika tidak meminumnya. Kembali ibu Syibil marah
kepadanya. Cerutunya hilang. Syibil mengaku ternyata cerutu itu
dipakainya bersama teman-temannya. Ibu Syibil berhenti memarahinya.
Lantaran ia harus cepat-cepat berangkat bekerja. Diberikannya uang satu
dollar kepada Syibil untuk jajan dan makan siang. Juga ibu Syibil
meminta Syibil agar tidak mengulangi perbuatannya lagi seperti minum whisky dan menghisap cerutu lagi.
Udara di New York sangat panas hingga
mencapai 90 derajat F. Syibil kepanasan di dapur. Buru-buru
dihabiskannya mata sapid an diteguknya susu dari gelas. Syibil berjalan
keluar apartemennya. Nyonya Jhonson melambai-lambaikan tangannya kea rah
Syibil. Member isyarat agar Syibil mau mampir ke rumahnya. Nyonya
Jhonson meminta bantuan Syibil. Ia mau menitipkan Susan, anaknya sampai
nanti sore. Nyonya Jhonson juga berpesan agar Syibil mau mengajak Susan
kemanapun Syibil mau. Diberikannya uang satu dollar untuk Syibil dan
Susan makan. Tiga dollar untuk Syibil yang menjaga Susan. Syibil
memasukkan uangnya ke dalam sakunya. Nyonya Jhonson berpesan agar
memulangkan Susan jam tiga sampai jam empat. Keluarlah Susan, anak
perempuan berumur enam tahun. Dititipkannya Susan kepada Syibil.
Syibil akan mengajak Susan pergi jauh.
Entah kemana. Karena Syibil berkata kepada Susan jikalau hendak pergi
jauh, Susan harus mengajak Mr. Todd. Mr. Todd adalah anjing-anjingan
milik Susan. Sambil kegirangan, Susan masuk ke dalam kamarnya sambil
membawa Mr. Todd. Mereka berdua menaiki bis. Susan meminta dibelikan
lolly. Syibil menurutinya dan membelikan Susan lolly. Di tengah
perjalanan, Susan melihat supermarket, rumah-rumah, restoran, warung
candy, pizza, hamburger, hot dog, dll. Susan merengek meminta dibelikan
hamburger. Namun Syibil menolaknya. Tentu saja karena mereka berdua
sedang berada di bis. Syibil merayu Susan agar membeli hamburgernya
ketika mereka sudah sampai di park dekat pantai. Syibil melanjutkan
banyak makanan yang ada di sana. Susanpun menurut.
Bis berhenti di dekat park itu. Susan
turun dan masuk ke dalam cafeteria itu. Mereka membeli hamburger dan
memakannya di dekat pantai. Susan sangat kegirangan. Mereka berbincang
tentang banyak hal. Mulai dari Manhattan, Empire State Building, New
York, dll. Sampai suatu pertanyaan melintas di bibir Susan yang
menanyakan ayah Syibil. Meski ayah Syibil tidak tinggal bersamanya,
namun Syibil menjelaskan kepada Susan bahwa ia punya bapak dan bapaknya
bekerja mulai pagi sampai larut malam. Setelah perbincangan itu,
tiba-tiba Syibil teringat dengan Harry Robertson yang menghisap cerutu
tidur di kamar ibunya. Tiba-tiba perasaan aneh menyelimuti Syibil di
dadanya.
Kembali, Susan merengek minta dibelikan
hamburger dengan irisan bawang yang besar. Syibil memandang wajah Susan
lama-lama sambil tersenyum aneh. Susan minta dibelikan hamburger. Dalam
hati Syibil berkata ‘setan kecil’. Syibil mengatakan akan mengajak Susan
bermain rampok-rampokan. Syibil menjadi perampoknya sedangkan Susan
akan diikat tangan dan kakinya serta matanya akan ditutup dengan sapu
tangan. Begitu juga dengan mulutnya. Meski Susan awalnya sempat protes,
namun Syibil menjelaskan agar permainan ini terkesan lebih seru dan
Syibil bejanji akan memberikan hamburger untuk menolongnya. Jam sudah
menunjukkan pukul dua siang dan Susan tidak kuasa lagi untuk bilang
‘help’.
Dengan segelas susu Syibil melihat TV di
kamarnya. Jam berdenting tiga kali. Hari mulai terasa panas. Terlihat
ibu Syibil pulang bersama Mr. Harry Robertson. Syibil bertanya kepada
Mr. Harry apakah ia akan tidur siang di rumahnya lagi. Tak ada jawaban,
ibunya menyuruh Syibil untuk menonton The Curse of the Werewolf. Diberikannya uang satu dollar dan pergilah Syibil keluar apartemennya.
Jam berdentang empat kali. Terdengar
telepon bordering. Setelah mendengar suara telepon, ibu Syibil berteriak
dan matanya membelalak. Seperti melihat hantu menempel di rumah mereka
dan seluruh apartemen seakan-akan bergetar karena teriakan Ibu Syibil.
Ibu Syibil telah mengetahui apa yang
sebenarnya diperbuat oleh Syibil. Syibil meninggalkan Susan sendirian
dengan keadaan diikat tangan dan kakinya serta matanya ditutup dengan
sapu tangan. Begitu juga dengan mulutnya. Syibil meninggalkannya
sendirian di park itu.
*Secangkir Kopi dan Sepotong Donat*
Secangkir kopi, sepotong donat, New York
Times, dan Oklahoma lirih-lirih keluar dari radio. Sebentar kemudian,
jam berdenting sepuluh kali dan satu pagi yang sempurna di New York
dalam ‘Fluffy Donuts-Coffe House’. Akan tidak beautiful lagi karena jam
minta kopi, orang minta kopi, dan orang minta kopi terus. Sesudah itu,
hari bukan lagi pagi dan Fluffy Donut bukan lagi satu warung kopi.
Banyak orang mulai berdatangan. Jam
sepuluh lebih seperempat. Semua tempat sudah mulai penuh asap mengepul,
memenuhi udara, di sana-sini berbentuk lobang-lobang. Uap kopi, wangi
donat, cruller dan jelly-cake membelai hidung. Peggy, si
pelayan mulai menuang kopi, menjambar donat, menakan mesin hitung,
mengangkat telepon, Peggy dimana-mana.
Terlihat seorang pemuda melihat Peggy
berambut pirang, dipotong crew-cut, matanya berbintik coklat. Matanya
yang satu tidak berkedip. Hidungnya mancung tapi melengkung. Peggy
datang menghampiri pemuda itu. Memberikan sepotong jelly-cake dan
secangkir kopi. Kemudian Peggy pergi lagi. Si pemuda buru-buru mengambil
sehelai serbet dan menuliskan sesuatu diatasnya.
Tiba-tiba seseorang berteriak meminta
kopi. Saat Peggy mengantarkan kopi itu, dilihatnya kertas yang
diacungkan pemuda itu. Dengan cepat, diambilnya kertas itu dan dibawanya
ke mesin hitung. Peggy mencoret sesuatu tapi sebentar saja. Seseorang
meminta kopi lagi dan donat macaroon kepada Peggy. Dengan cepat,
dijatuhkannya kertas itu dimuka si pemuda. Dengan gemetar, pemuda itu
menjawab dan menulis lagi di bawah jawaban Peggy. Begitu dan seterusnya
Peggy dan sang pemuda itu menulis dan saling membalas.
Tiba-tiba di tengah tempat yang padat
itu, serta dipenuhi orang yang keluar masuk, terdengar suara yang
memanggil Peggy dengan “Peggy.. Peggy..merpatiku”. semua yang ada di
tempat itu menoleh ke arah orang yang mempunyai suara itu. Peggy yang
sebelumnya sedang menuangkan kopi, sontak ia langsung kaget mendengar
suara itu. Tak hanya Peggy saja, tetapi semua orang. Ternyata pemilik
suara itu adalah Jim. Semua orang yang ada di tempat itu, tampaknya
sangat ingin mendengarkan percakapan antara Jim dan Peggy. Termasuk si
pemuda itu. Jim meminta Peggy membawakannya air es. Tiba-tiba Jim
berpidato bahwa hari ini adalah hari penting. ia bertanya kenapa Amerika
makin merosot sebagai negara besar? Karena rakyatnya sudah tidak tahu
menjawab kenapa minum kopi disaat jam ngopi. Tidak tahu menjawab kenapa
orang Cuma bisa beli hot dog karena orang dikiranya mengunyah hot dog.
Orang memamah hamburger karena orang dikanannya memamah hamburger.
Kata-kata Jim mulai tidak terarah dan tidak bisa terdengar telinga.
Suaranya yang terbatah-batah membuat susah telinga menangkap sebenarnya
apa yang ia bicarakan. Semua orang diam dan memandang Jim. Jim
tiba-tiba berkata kepada temannya, Bob, dan Tedd. Mereka dimintai tolong
Jim kepada Mc Leod karena tidak enak badan. Teman Jim setuju. Sesaat
setelahnya, Jim meninggalkan Fluffy-Donut.
Orang-orang membicarakan Jim. Kenapa dia
dan seterusnya. Peggy mengelap meja bekas Jim. Semua keadaan menjadi
normal. Fluffy-Donut hidup kembali. Begitupun dengan si pemuda. Pemuda
itu kembali menyurati Peggy dan menulis dengan kata yang sama seperti
surat pertamanya. Ia menanyakan pada Peggy kenapa ia tidak datang. Tanpa
membalas surat pemuda itu, Peggy menghadap ke pemuda itu sambil
menjawab surat pemuda itu. Peggy berkata bahwa semalam Bapaknya mabuk
dan ibunya dipukuli. Sebelumnya mereka telah sepakat bahwa setelah Peggy
menjawab surat pemuda itu, pemuda itu akan meninggalkan Fluffy-Donut.
Pemuda itu memandang wajah Peggy sangat lama sebelum akhirnya
meninggalkan tempat itu. Pemuda itu menulis beberapa surat lagi yang
kebanyakan berisi sorry..sorry.
Fluffy-Donut jadi sepi karena sebagian
pelanggannya sudah pada bekerja kembali. Peggy mulai menyingkirkan
cangkir-cangkir kopi dan membersihkan meja. Surat dari pemuda itu
dibacanya dan dimasukkan ke dalam sakunya. Di belakang mesin hitung
Peggy mengeluarkan surat itu sambil menciuminya. Pipinya memerah. Ia
tersenyum sendiri membaca surat dari pemuda itu. Kemudian di depan kaca
warung itu Peggy mengaca dirinya, membenarkan rambutnya, lalu
digambarkannya bentuk jantung yang besar serta terdapat panah yang
membatasi antara tengah-tengah jantung yang digambarnya dengan
menggunakan lipstik. Dipandanginya lama-lama gambar itu serta secara
perlahan ia meninggalkan warung itu dalam keadaan kosong.
*Chief Sitting Bull*
Pagi itu tidak banyak orang yang bertengger di sekitar Caraousel Central Park.
Hanya ada beberapa orang anak yang terlihat sedang menaiki
kuda-kudaannya. Di bangku-bangku sekitar caraousel, terlihat ibu-ibu
sedang mengobrol sembari menunggu anaknya yang tengah bermain.
Dari arah kebun binatang terlihat
seorang kakek berlari tergopoh-gopoh. Saat sampai dimuka loket,
diberikannya uang lima puluh sen kepada perempuan yang menjual karcis.
Kakek yang ternyata bernama Charlie ini menunggang sebuah kuda-kudaan
untuk naik lima kali putaran. Perempuan itu berkata bahwa Charlie hari
ini sedikit terlambat. Alhasil, perempuan itupun berkata lagi bahwa kuda
putih dan kuda hitam yang biasa ditunggangi oleh Charlie sedang dinaiki
oleh seorang bocah laki-laki yang ternyata bocah laki-laki itu baru
akan selesai ketika enam kali putaran. Kakek itupun memberitahu kepada
perempuan bahwa semua ini salah menantunya, Mary. Mary lupa menaruh
jatah uang satu dollar kakek dan kakek itu hanya makan sandwich untuk lunch di meja dan dengan terpaksa kakek itu menunggu menantunya datang dari laundromat. Kakekpun memarahi menantunya.
Charlie mendekati anak yang menunggang
kuda putih. Kakek menyapa anak itu dengan ‘Howdy Bill’. Dengan terkejut,
anak itupun berkata bahwa namanya bukan Bill. Kakek kemudian berkata
bahwa bukankah kau Buffalo Bill? Bill Cody?. Si anak tertawa dan
ternyata benar ia adalah Bill Cody. Si anak kemudian menanyakan siapakah
kakek itu sebenarnya. Kakek menjawab bahwa ia adalah Chief Sitting
Bull. Kakek menggunakan segala cara untuk memperdaya anak itu agar tidak
menaiki kudanya. Sang kakek berhasil memperdaya si anak dengan
cerita-ceritanya. Akhirnya si anak turun dan kakek buru-buru menaiki
kudanya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Setelah enam kali putaran itu,
akhirnya si anak dan kakek keluar. Tampak seorang ibu sedang memanggil
si anak tadi yang diketahui bernama Tommy. Tommy ingin ikut dengan si
kakek, akan tetapi ibunya melarang lantaran hari sudah menunjukkan jam
makan siang.
Di kebun binatang, Charlie duduk di
bangku. Di sampingnya nampak seorang nenek yang sebaya dengan Charlie.
Nenek itu bernama Martha. Nenek Martha berkata kepada Charlie bahwa ia
sangat lambat hari ini. Burung-burung sudah menunggu Charlie untuk
diberi makan. Charlie bercerita kepada Martha tentang apa yang sedaang
terjadi pagi tadi akibat menantunya, Mary. Charlie menganggap
menantu-menantu itu tidak tahu terima kasih. Sementara itu, terlihat
sekelompok burung dara yang menggerombol minta makan. Beberapa burung
bertengger di kedua bahu Charlie. Burung-burung itu pada berebut meminta
makanan yang ada ditangan Charlie. Seekor dara putih datang bertengger
di bahu Charlie dan dengan galaknya memaruh kawan-kawannya yang ada di
bahu. Habislah mereka terbang, tinggal seorang dara putih yang ada di
bahu Charlie. Mereka berdua yakni Charlie dan Martha memberi nama dara
putih itu dengan nama si tamak. Persediaan makanan yang dibawa Charlie
lama-kelamaan habis. Burung dara itu mulai beterbangan mencari makanan
yang lain. Tinggallah sang kakek-nenek yang duduk manis di bangku sambil
membicarakan lunch yang mereka bawa masing-masing. Si kakek
membawa sandwich-salad-ikan-tongkol sedangkan sang nenek membawa
sandwich-salad-daging-kalkun. Mereka sepakat akan membagi makanan
menjadi dua untuk masing-masing karena mereka sudah lama tidak memakan
makanan apa yang telah mereka bawa. Mereka bertukar makanan dan
membaginya menjadi setengah-setengah. Waktu menunjukkan sudah hampir jam
setengah tiga siang. Mereka haerus pulang dan berjanji untuk esok
ketemu lagi bersama-sama memberi makan burung dara.
Hawa terasa sangat panas ketika Charlie
masuk ke dalam rumah. Mary ada di rumah dan membukakan pintu. Charlie
memasuki dapur menemui Mary. Mary memberikan Charlie sebuah semangka dan
segelas beer. Mary bertanya dengan Charlie dari mana sajakah ia
seharian ini. Charlie menjawab pertanyaan Mary. Setelah itu mereka
berdua membicarakan tentang politik. Charlie berbicara tentang Presiden
Eisenhower yang akan perang dengan Stalin hari-hari ini. Mary berkata
bahwa sesungguhnya Presiden Eisenhower bukanlah lagi presiden dan Stalin
sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Kakek itu keras kepala dan
mengatakan bahwa Mary sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Ia juga
mengatakan bahwa Mary hanyalah anak ingusan yang tidak mengerti tentang
politik. Charlie melanjutkan bahwa ia setiap hari melihat dunia. Tidak
seperti kau (Mary) yang hanya bisa pergi ke laundromat dan supermarket
tiap hari. Dengan sabar, Mary mengangguk-anggukan kepala tanda setuju
dengan pendapat si kakek. Dia juga meminta maaf dan melanjutkan
berbincang tentang politik dengan kakek tua itu. Saat semangka itu sudah
habis, Charlie langsung bergegas menuju kamarnya dan tidak lupa ia
berpesan agar dibangunkan lima menit sebelum Amos dan Andy tampil di
televisi. Pintu kamar ditutup dan satu siang yang panjang telah berlalu
buat Charlie.
*There Goes Tatum*
Hujan mulai turun rintik-rintik. Mendung
tebal dan kelabu menyeringai menakut-nakuti orang yang sedang berjalan.
Karena di New York jarang sekali gerimis rintik-rintik yang berubah
menjadi hujan yang lebat. Riverside tampak lengang ditinggalkan. Di
Riverside Drive hanya Nampak sekali dua mobil dan bus lewat. Keadaan
begitu mulai menggembirakan hatiku. Jarang sekali tercium bau tanah yang
mulai dibasahi air hujan kucium di New York. Terlihat tupai melompat
dari pohon satu ke pohon yang lain. Tiba-tiba muncullah seorang negro
dihadapanku. Karena tiba-tiba dan suaranya itu betul-betul sangat
mengagetkanku. Badannya tegap, gagah dan tinggi. Tangannya diulurkan dan
sambil tersenyum dia berkata ‘Fifty cents, mitsuh’. Aku tersenyu. Aku
sengaja mencoba-coba memancing dia sebelum memberikan uang setengah
dollar itu kepadanya. Dengan sedikit perbincangan diantara kami berdua,
setidaknya mengulur-ulur waktu untuk memberikan uangku kepadanya. Aku
menawarkannya bekerja. Dengan tidak mengemis seperti ini. ia menolaknya.
Tiba-tiba dari arah 116 th street terdengar jerit perempuan
yang meminta pertolongan. Jantungku berdebar sangat cepat. Saat aku
menengok kea rah suara itu, aku melihat seorang negro berlari cepat
sekali menjinjing tas perempuan menyebrang di Riverside Drive, masuk
park terus turun dengan kecepatan yang luar biasa ke park bawah dan
menghilanglah dia dengan sangat cepat.
Tidak seorangpun muncul dan kesepian
kembali seperti semula. Ternyata seorang pengemis negro mengenali siapa
orang yang merampok itu. Namanya There Goes Tatum. Pengemis negro itu
melanjutkan ternyata perampok itu adalah temannya dan tinggalnya
berdekatan dengan si pengemis. Si pengemis melanjutkan bahwa ia tinggal
di Madison Avenue sedangkan perampok tadi tinggal di Park Avenue.
Kemudian kurogoh saku celanaku. Kuberikannya uang kepada pengemis itu.
Aku lari tergopoh namun sebuah tangan yang kuat menahanku. Ternyata si
pengemis tadi. Ketika aku berkata bahwa aku buru-buru ingin pergi
kuliah, pengemis tadi berkata bahwa ia sangat menginginkan jam yang
kupakai. Jam buatan Swiss bermerek Titoni. Namun aku berkata bahwa
bukankah ada semacam kode bahwa sesama kulit berwarna dilarang merampok.
Pengemis itu berkata bahwa ia juga pernah mendengar kode semacam itu.
Kemudian aku berkata bahwa bukankah aku kulit berwarna juga. Ia tertawa.
Ia berkata bahwa aku bukanlah kulit berwarna. Ia mulai menerka-nerka
orang apakah aku. Aku berkata bahwa aku orang Indonesian. Bukan
indo-chinese. Ia juga berkata bahwa aku bukanlah orang berwarna seperti
ia. Jam Titoni pemberian ayahku ternyata harus berpisah denganku.
Rupanya, pengemis tadi bukan hanya seorang pengemis juga. Ia juga
ternyata berniat merampokku. Ia membawa pisau dan mencoba-coba ketajaman
pisaunya pada janggutnya. Ia menggertakku. Terpaksa setelah kuberikan
jam itu aku berlari menghitung-hitung kemungkinan sekuat tenaga berlari
kea rah 112 street lalu berlindung ke arah Colonial-House. Ke kamar
seorang teman. Setelah Jam Itoniku kuberikan padanya ia tersenyum dan
berkata terima kasih. Hujan mulai lebat. Mendung kelabu hitam. Aku tahu,
dia tidak hanya menggertak sambal kepadaku. Jikalau tidak kuberikan apa
yang ia mau, tak tahulah bagaimana yang akan terjadi denganku. Badanku
mulai basah kuyup.
No comments:
Post a Comment